Tuesday, 1 November 2016

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBINEMIA

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBINEMIA

A.    Definisi
Hyperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan Yuliani, 2010: 133)
Hyperbilirubin adalah suatu kondisi bayi baru lahir dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum patologis. (Hidayat, 2008: 94)
Hyperbilirubinemia tak terkonjungsi adalah kadar bilirubin serum indirek  ≥ 1 mg/ dl untuk bayi cukup bulan atau ≥ 4-5 mg/ dl untuk bayi premature. Hyperbilirubinemia terkonjungsi adalah kadar bilirubin serum direk ≥ 3 mg/ dl atau fraksi > 10% sampai 15% bilirubin serum total. Hal ini disebabkan keegagalan bilirubin terkonjugasi diekskresikan dari hepar (hepatosit) ke duodenum karena deefisiensi sekresi atau aliran empedu sehingga menyebabkan cedera sel hepar. (Haws, 2007: 202)

B.     Etiologi
1.      Peningkatan bilirubin dapat terjadi karena polycetlietnia, isoimmun hemolytic diseas, kelainan struktur dan enzim sel darah merah, keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampenikol), hemolisis ekstravaskuler, cephalematoma, ecchymosis.
2.      Gangguan fungsi hati;  glukoronil transferase, obstruksi empedu/ atresia biliari, infeksi, masalah metabolic, galaktosemia hypothyroidisme, jaundice ASI.
(Suriadi dan Yuliani, 2010: 134)

C.     Manifestasi Klinik
1.      Tampak ikterus; sklera, kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang tamapak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu diabetic atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan memuncak pada hari ke lima sampai tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
2.      Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirrubin direk) kulit tampak beerwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus berat.
3.      Muntah, anorexia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.
(Suriadi dan Yuliani, 2010: 134)

D.    Patofisiologi
Hiperbilirubinemia neonatal atau ikterus fisiologis, suatu kadar bilirubin serum total yang lebih dari 5 mg/ dl, disebabkan oleh predisposisi neonatal untuk memproduksi bilirubin dan keterbatasan kemampuan untuk mengekskresikannya. Dari definisinya, tidak ada ketidaknormalan lain atau proses patologis yang mengakibatkan ikterus. Warna kuning pada kulit dan membrane mukosa adalah karena deposisi pigmen bilirubin tak ter-konjungsi. Sumber utama bilirubin adalah dari pemecahan hemoglobin yang sudah tua atau sel darah merah yang mengalami hemolisis. Pada neonates, sel darah merah mengalami pergantian yang lebih tinggi dan waktu hidup yang lebih pendek, yang meningkatkan kecepatan produksi bilirubin lebih tinggi. Ketidakmatangan hepar neonatal merupakan factor yang membatasi ekskresi bilirubin.
Bilirubin tak terkonjugasi atau indirek bersifat larut lemak dan mengikat albumin plasma. Bilirubin kemudian diterima oleh hati, tempat konjugasinya. Bilirubin terkonjugasi atau direk diekskresikan dalam bentuk empedu ke dalam usus. Di dalam usus, bakteri meerubah bilirubin terkonjugasi atau direk menjadi urobilinogen. Mayoritas urobilinogen yang sangat mampu larut diekskresikan kembali oleh hepar dan dieliminasi ke dalam feses, ginjal mengekskresikaan 5% urobilinogen. Peningkatan kerusakan sel darah merah dan ketidakmatangan hepar tidak hanya menambah peningkatan kadar bilirubin, tetapi bakteri usus lain dapat mendekonjugasibilirubin, yang memungkinkan reabsorpsi ke dalam sirkulasi dan selanjutnya meningkatkan kadar bilirubin.
(Betz, 2009: 207)


E.     Pathways


F.      Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan bilirubin serum: pada bayi cukup bulan bilirubin mencapai puncak kira-kira 6 mg/ dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/ dl adalah tidak fisiologis.
2.      Ultrasound: untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3.      Radioisotope scan: dapat digunakan untuk meembantu membedakan hepatitis dari atresia biliary (Suriadi dan Yuliani, 2010: 136).

G.    Komplikasi
1.      Hipotermi, hipoglikemi, menurunnya ikatan albumin.
2.      Kernikterus: Suatu sindrom neurologic yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak (Rukiyah dan Yulianti, 2012: 273).

H.    Focus Pengkajian
1.      Pemeriksaan fisik: Inspeksi warna pada sclera, konjungtiva, membrane mukosa mulut, kulit, urin, tinja.
2.      Pemeriksaan bilirubin menunjukan adanya peningkatan.
3.      Tanyakan beerapa lama jaundice muncul dan sejak kapan.
4.      Apakah bayi meengalami demam.
5.      Bagaimana kebutuhan pola minum.
6.      Riwayat keluarga.                                    (Suriadi dan Yuliani, 2010: 139)
I.       Diagnose Keperawatan
1.      Resiko injury (internal) berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gaangguan ekskresi bilirubin.
2.      Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air tanpa disadari sekunder dari fototerapi.
3.      Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan pengaruh fototerapi.
4.      Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi.
5.      Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengalaman orang tua.
(Suriadi dan Yuliani, 2010: 138)

J.       Rencana Keperawatan
1.      Resiko injury (internal berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gaangguan ekskresi bilirubin.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury akibat peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gaangguan ekskresi bilirubin.
Criteria Hasil: Tidak adanya tanda-tanda injury internal.

Intervensi:
a.       Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit dari kepala, sclera dan tubuh secara progresif terhadap ikterik setiap pergantian shift
Rasional: Mengetahui adanya hiperbilirubinemi secara dini sehingga dapat dilakukan tindakan penanganan segera.
b.      Monitor kadar bilirubin dan kolaborasi bila ada peningkatan kadar.
Rasional: Mengetahui peningkatan kadar bilirubin yang tinggi
c.       Monitor kadar Hb, Hct adanya penurunan.
Rasional: Adanya penurunan Hb, Hct menunjukan adanya hemolitik
d.      Berikan phototerapi
Rasional: phototerapi berfungsi mendekomposisikan bilirubin dengan photoisomernya.

2.      Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air tanpa disadari sekunder dari fototerapi.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan
Kriteria Hasil:
a.       Jumlah intake dan output seimbang.
b.      Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal.
c.       Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL.
Intervensi:
a.       Kaji reflek hisap bayi.
Rasional: Mengetahui kemampuan hisap bayi
b.      Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
Rasional: Menjamin keadekuatan intake
c.       Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi feces.
Rasional: Mengetahui kecukupan intake
d.      Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital setiap 4 jam
Rasional: Turgor menurun, suhu meningkat, respirasi meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi.
e.       Timbang BB setiap hari.
Rasional: mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi.
3.      Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan pengaruh fototerapi.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan integritas kulit.
Criteria Hasil:
a.       Tidak terjadi decubitus
b.      Kulit bersih dan lembab
Intervensi:
a.       Kaji warna kulit tiap 8 jam.
Rasional: Mengetahui adanya perubahan warna kulit.
b.      Ubah posisi setiap 2 jam
Rasional: Mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama.
c.       Masage daerah yang menonjol
Rasional: Melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut.
d.      Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab.
Rasional: Mencegah lecet.
e.       Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg%  fototerafi dihentikan
Rasional: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama.

4.      Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi bayi.
Tujuan: Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Criteria Hasil: Orang tua tidak cemas.
Intervensi:
a.       Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
Rasional: Mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit.
b.      Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya.
Rasional: Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit.
c.       Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.
Rasional: meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi.

5.      Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengalaman orang tua.
Tujuan: Setelah diberikan penjelasan selama 2x30 menit diharapkan orang tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Criteria Hasil: Orang tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Intervensi:
a.       Ajak orang tua untuk diskusi dengan meenjelaskan teentang fisiologis, alas an perawatan, dan pengobatan.
Rasional: Menambah pengetahuan mengenai penyakit yang dialami bayi.
b.      Libatkan dan ajarkan orang tua dalam merawat bayi
Rasional: Orang tua dapat meerawat bayi dengan benar.
c.       Jelaskan komplikasi dengan mengenal tanda dan gejala; kekakuan otot, kejang dan tidak mau makan/ minum, meningkatnya temperature, dan tangisan yang melengking.
Rasional: orang tua dapat megetahui gejala dan tanda yang teerjadi pada bayi dan dapat bertindak cepat.
(Suriadi dan Yuliani, 2010: 139)

K.    Focus Evaluasi
1.      Bayi terbebas dari injury yang ditandai dengan serum bilirubin menurun, tidak ada jaundice, reflek moro normal, tidak terdapat sepsis, reflek hisap dan menelan baik.
2.      Bayi tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi yang ditandai dengan membrane mukosa normal, ubun-ubun tidak ceekung, temperature dalam keadaan normal.
3.      Bayi tidak menunjukan adanya iritasi pada kulit yang ditandai dengan tidak ada ruam.
4.      Orang tua tidak tampak cemas yang ditaandai dengan mengekspresikan perasaan dan perhatian pada bayi dan aktif dalam partisipasi perawatan bayi.
5.      Orang tua memahami kondisi bayi dan alasan pengobatan, dan aktif dalam partisipasi perawatan bayi.
(Suriadi dan Yuliani, 2010: 138)



L.     Discharge Planing
1.      Ajarkan orang tua cara merawat bayi agar tidak terjadi infeksi dan jelaskan tentang daya tahan tubuh bayi.
2.      Jelaskan pada orang tua pentingnya pemberian ASI apabila sudah tidak ikterik. Namun bila peenyebabnya bukan dari jaundice ASI tetap diteruskan pembeerian ASI.
3.      Jelaskan pada orang tua tentang komplikasi, yang mungkin terjadi, segera lapor dokteer atau perawat.
4.      Jelaskan untuk pemberian imunisasi.
5.      Jelaskan teentang pengobatan yang diberikan.
(Suriadi dan Yuliani, 2010: 140)



DAFTAR PUSTAKA

Cecily, Lynn Betz. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Ed 5. Jakarta: EGC
Dewi, Vivian Nanny Lia. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika

Haws, Paulette S. 2007. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta: EGC

Hidayat, A aziz Alimul. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikam Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Rukiyah, Ai Yeyeh dan Lia Yulianti. 2012. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak. Jakarta: TIM

Suriadi dan Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: Sagung Seto

Monday, 31 October 2016

PENGKAJIAN GAWAT DARURAT



PENGKAJIAN GAWAT DARURAT

Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009): Primary survey, Resuscitation, History, Secondary survey, Definitive care.

Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari  Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
1.      Airway maintenance dengan cervical spine protection
2.      Breathing dan oxygenation
3.      Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4.      Disability pemeriksaan neurologis singkat
5.      Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a)   General Impressions
1.      Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
2.      Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
3.      Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b)   Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan  bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1.      Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
2.      Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a.       Adanya snoring atau gurgling
b.      Stridor atau suara napas tidak normal
c.       Agitasi (hipoksia)
d.      Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
e.       Sianosis
3.      Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
a.       Muntahan
b.      Perdarahan
c.       Gigi lepas atau hilang
d.      Gigi palsu
e.       Trauma wajah
4.      Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5.      Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
6.      Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
a.       Chin lift / jaw thrust
b.      Lakukan suction (jika tersedia)
c.       Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
d.      Lakukan intubasi

c)    Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
1.        Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
a.         Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
b.         Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
c.         Auskultasi  untuk adanya : suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
2.        Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
3.        Penilaian kembali status mental pasien.
4.        Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
5.        Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
a.       Pemberian terapi oksigen
b.      Bag-Valve Masker
c.       Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
d.      Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
6.        Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

d)   Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1.    Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2.    CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3.    Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
4.    Palpasi nadi radial jika diperlukan:
b.      Menentukan ada atau tidaknya
c.       Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
d.      Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
e.       Regularity
6.      Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
7.      Lakukan treatment terhadap hipoperfusi.

8.    Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1.      A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
2.      V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
3.      P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
4.      U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.

9.    Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah  mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan  telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011). 
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1.         Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien.
2.         Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009).
 

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St.
Louis Missouri : Elsevier Mosby. 

Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005).  Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, Edisi 3.  Jakarta: EGC

Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info Media
Medis.